Terkenang Ramadhan Yang Silam

Ramadhan telah memasuki hari yang kelima. Syukur tertambat dihati dan diucap dilisan, semua kenikmatan semoga Allah jadikan saran kebaikan diri untuk perbaiki taat dan taqwa. Ini adalah ramadhan ke-19 dalam kehidupan saya. Tentu telah banyak remah-remah kenangan yang dilahirkan, kenangan yang kini kerap kali dirindukan. 

Lebih dari setengah hidup yang dilalui, saya habiskan di sebuah desa kecil bernama Cibeber. Salah satu desa kecil yang ada di Kota Cilegon, Banten. Di desa ini setidaknya ada 3 pondok pesantren salafi tradisional, hal ini juga yang kemudian membuat ramadhan di sini lebih semarak dibanding di tempat yang lain. Melewati Ramadhan saat itu sungguh sangat menyenangkan. Ramadhan saat usia masih belia adalah pengalaman berharga yang dihadiahkan kehidupan, selalu menyenangkan untuk mengenangnya.

Seperti biasa shaum kita diawali dengan sahur. Seperti kebanyakan yang anak-anak rasakan, saat sahur bukanlah saat yang menyenangkan. Rasa kantuk dan malas bercampur jadi satu dan bergelantung kuat di kelopak mata. Jika bukan karena ibu saya yang memang ahli membangunkan saya, sudah tentu waktu sahur akan saya habiskan dengan berkemul dan memeluk  guling.  Uniknya lagi kami (saya dan beberapa kakak saya) selalu dibangunkan sekitar jam 3 bahkan jam setengah 3 pagi untuk sahur, saya sering sebal waktu itu, padahal waktu imsak adalah sekitar pukul 04.30. Tapi semua terjalani dengan baik, dan walhasil dari sekitar 14 Ramadhan yang diikuti, saya tidak pernah bangun kesiangan untuk makan sahur. Sampai ramadhan tahun ini.

Waktu sahur di desa saya cukup unik. Sahur kami diiringi dengan tarhim, semacam membaca salawatan, ayat Alquran dan sejenisnya yang dimanaatkan juga untuk membangunkan orang salat subuh dan makan sahur. Tarhim ini kemudian yang membuat subuh di desa kami tidak pernah lengang, karena setidaknya dari jam setengah 4 pagi, desa saya sudah ‘berisik’ dengan vokal merdu yang khas dari pembaca tarhim.

Disiang hari tidak ada yang terlalu spesial, tidak jauh berbeda dengan tempat-tempat lain.  Warung-warung ditutup dan mulai beroperasi sehabis asar. Setelah asar aktivitas masyarakat dimulai. Ibu-ibu rumah tangga menyiiapkan makanan berbuka, dan saya yang masih kanak-kanak menghabiskan waktu sore dengan berkumpul dengan teman-teman menunggu maghrib datang. Biasanya sore hari kita habiskan dengan bermain bola, bermain sepeda, atau bermain petasan. Rasa lapar menjadi tidak terasa.

Saat kita sedang bermain menghabiskan waktu sore, di tempat lain, yaitu masjid desa, nama masjidnya At-Ta’awun, hiruk pikuk terlihat, banyak orang berdatangan membawa ta’jilan ke masjid, sesampainya di masjid ta’jilan akan dikondisikan oleh petugas. Membariskannya dihadapan para masyarakat yang duduk berhadapan sambil membaca salawat burdah. Salawat burdah inilah yang unik, ditempat lain saya belum pernah menemuinya. Salawat burdah adalah cerita biografi Rasulullah SAW yang dibuat dalam bentuk syair-syair, dan dibacakan dengan nada-nada tertentu. Setiap bab dalam kitab salawat burdah punya nada-nada tersendiri yang berbeda. Terlebih salawat ini dibaca olah ramai orang dengan suara yang –sepertinya- harus lantang. Kondisi masjid ramai betul waktu itu. Nah, dari sinilah kemudian berbuka shaum di masjid mendapat sebutannya, burdahan.

Ada kisah unik yang pernah saya alami, waktu itu saya mencoba ikut berbuka di Masjid, jam lima saya sudah datang, dan kondisi masjid waktu itu masih belum terlalu ramai. Seorang petugas datang dan mengambil ta’jilan yang saya bawa untuk disiapkan ke pembaca salawat burdah. Dengan lugu saya berikan semua ta’jilan. Waktu menunjukan setengeh enam, langit sudah semakin gelap, tapi saya bingung, dari mana nanti saya dapat makanan berbuka. Tapi herannya yang lain tetap memiliki makanan berbuka sekalipun makanan yang mereka bawa diberikan ke petugas. Ternyata saya keliru, seharusnya sebelum makanan diberikan ke petugas saya sudah menyimpan beberapa bagian untuk saya santap sendiri. Saya terancam berbuka dengan menelan ludah atau minum air kran waktu itu, tapi syukurlah disaat bedug dipukul ada orang yang berbaik hati membagi sebagian makanan berbukanya. Semenjak saat itu saya menjadi trauma untuk berbuka di masjid. Sampai di rumah saya mengadu ke Ibu dan ‘balas dendam’ dengan manyantap banyak makanan di rumah.

Yang unik juga saat berbuka ibu saya selalu menekankan kita hanya mulai berbuka saat adzan berkumandang, bukan saat bedug dipukul, padahal jarak waktu antara bedug dan adzan mencapai satu menit. Waktu yang sangat lama bagi saya waktu itu, terlebih jika seluruh makanan sudah tersaji didepan mata. Padahal di masjid sendiri, semuanya sudah mulai makan ketika bedug ditabuh. Waktu saya tanya, ibu saya cuma bilang, “kalo buat yang dimasjid boleh, tapi yang di rumah harus tunggu sampai adzan.” Untung saja saya termasuk anak penurut, jadi saya manut saja.

Selepas berbuka, aktivitas unik lain yang endemik ramadhan adalah, tarawih. Tarawih di desa saya 23 rakaat dengan kecepatan bacaan dan gerakan yang mantap. Makin cepat bacaan dan gerakannya, maka makin dianggap hebat oleh masyarakat. Ada 3 orang kiyai yang biasa menjadi imam salat tarawih, masing-masing adalah KH. Mursi Qudsi, KH. Hasyim, dan H. Suryadi. Dari ketiganya yang tercepat adalah KH. Mursi Qudsi, 23 rakaat tarawih bisa diselesaikan dalam waktu kurang dari 30 menit, dahsyat.

Selepas tarawih adalah taqobalan. Sejenis salawatan dan didalamnya didoakan juga secara khusus para sultan-sultan banten. Solawatan ini dibaca dengan nada yang sangat tinggi, tanpa pengeras suara aktivitas ini bisa terdengar sampai jarak 100 meter. Makanya tak heran setelah taqobalan suara saya sering serak, bahkan pernah pula sampai kehabisan suara.

Sekitar jam 9 malam masjid kembali ramai, para pemuda berdatangan dan bergantian mengaji Alquran sampai larut malam. Bahkan mencapai jam 2 atau jam 3 pagi. Aktivitas ini biasa kami sebut mikran. Saya tidak tahu dari mana asal nama ini. Mikran ini dilakukan setiap malam selama ramadhan, untuk pembacanya dibuat berotasi tiap-tiap gang yang berada dalam desa saya tinggal.
●●●

Ramadhan masa kanak-kanak adalah ramadhan yang menyenangkan, sehingga kerap pula dirindukan, sekalipun tidak semuanya 100% hal yang baik dilakukan, tapi bagaimanapun semuanya adalah sarana cerminan untuk kehidupan ke depan.
Bojong Sari dan Cilegon, 5-6 Ramadhan 1432