8 Alasan Golput Haram


Oleh: Salman, S.H.I, MA*

Salah satu dari 24 fatwa yang dilahirkan dari Ijtima’ Majelis Ulama Indonesia di Padang Panjang Sumatera Barat, 24-26 Januari 2009 yang lalu adalah tentang haramnya Golput. Sesungguhnya, Majelis Ulama tidak menggunakan istilah golput (golongan putih) untuk mengidentifikasi objek fatwa ini. Majelis Ulama menegaskan hal pokok yang sangat penting yaitu bahwa Pemilu dalam pandangan Islam adalah upaya untuk memilih pemimpin atau wakil yang memenuhi syarat-syarat ideal bagi terwujudnya cita-cita bersama sesuai dengan aspirasi umat dan kepentingan bangsa. Karenanya, tidak ikut dalam pemilu padahal ada calon yang memenuhi syarat adalah tindakan yang bertentangan dengan nilai Islam dan hukumnya “haram.” Artinya setiap individu Muslim wajib terlibat dalam usaha mendukung dan memperjuangkan agar orang-orang yang menjadi wakil dan pemimpin umat adalah orang-orang yang shalih, adil, amanah, yang memenuhi syarat-syarat kemimpinan dalam Islam.

8 (Delapan) Alasan Fundamental
Untuk memberikan dasar argumentasi yang jelas terhadap wajibnya umat turut berpartisipasi dalam pemilu, berikut ini disajikan delapan alasan mendasar mengenai kewajiban tersebut.



Pertama, Islam adalah sistem yang komprehensif yang meliputi seluruh aspek kehidupan. Imam Syahid Hasan Al-Banna menegaskan bahwa Islam bukanlah agama yang hanya mengatur masalah aqidah dan ibadah, tapi Islam juga mengatur masalah politik, ekonomi, hukum, budaya, militer, undang-undang, pemerintahan, pemikiran, dan lain-lain. Setiap aktivitas kehidupan setiap mukmin haruslah menjadi ibadah karena itulah yang menjadi tujuan Allah menciptakan manusia (QS. Adz-Dzariyat (51): 56). Dalam Islam, semua amal itu akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah SWT. (QS. Az-Zalzalah (99): 7-8).

Secara praktis, apa yang kita hadapi dalam momentum Pemilu 9 April 2009 adalah juga sesuatu yang menjadi ibadah kepada Allah dan pasti akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah. Karenanya,setiap individu muslim harus menggunakan hak politiknya dengan bertanggung jawab dengan hanya memilik orang-orang yang shaleh, adil dan amanah sebagai pemimpin.

Kedua, Islam memiliki konsep kepemimpinan yang jelas. Islam mengajarkan bahwa setiap muslim adalah pemimpin dan setiap diri akan diminta pertanggungjawaban kepemimpinannya (HR. Bukhari). Rasul juga menegaskan bahwa pemimpin yang adil adalah sosok pertama yang akan mendapat perlindungan langsung dari Allah ketika tidak ada perlindungan kecuali hanya perlindungan Allah SWT. (HR. Bukhari). Dalam Al-Qur’an, berulang kali Allah menegaskan bahwa seorang muslim tidak boleh menjadikan orang-orang Yahudi dan Nasrani sebagai pemimpin, tidak boleh mengangkat bahkan ayah atau saudara sendiri sebagai pemimpin, tidak boleh menyerahkan amanah kepemimpinan kepada orang-orang yang lebih cenderung kepada kekafiran dari pada iman, dan seterusnya. Mengenai prinsip ini kita bisa temukan dalam Al-Qur’an surat Ali-Imran (3): 118, An-Nisa’ (4): 144, Al-Ma’idah (5): 51 & 57, At-Taubah (9): 23, Al-Mumtahanah (60): 13, dan banyak ayat lainnya.

Ketiga, amanah kepemimpinan hanya boleh diberikan kepada yang sanggup menunaikannya. Dalam firman-Nya, surat An-Nisa’ (40): 58, Allah SWT memerintahkan kita untuk hanya memberikan amanah kepemimpinan kepada orang yang sanggup menjalankan amanah itu. Rasulullah menegaskan bahwa bila sebuah urusan diserahkan kepada yang bukan ahlinya, maka tunggu saja kehancuranya (HR. Bukhari). Oleh karena itu, Pemilu harus dijadikan sarana untuk hanya menyerahkan amanah kepmimpinan kepada orang yang memenuhi syarat untuk itu.
Sikap tidak mau terlibat dalam usaha mendorong orang-orang shalih menjadi pemimpin, sementara pada saat yang sama-sama orang-orang yang tidak memiliki semangat keislaman, gigih berjuang untuk meraih kekuasaan hingga akhirnya mereka memenangkan kompetisi demokrasi ini, maka secara tidak langsung orang-orang yang tidak menggunakan hak suara tadi telah ikut berkontribusi menyebabkan terpilihnya wakil rakyat atau pemimpin yang tidak islami.

Keempat, kekuasaan adalah sarana dakwah yang paling efektif. Politik adalah sarana amar makruf nahi mungkar. Rasul menegaskan bahwa mencegah kemungkaran dan dengan tangan dan kekuasaan yang dimiliki merupakan kewajiban yang harus ditunaikan (HR. Muslim).

Kelima, berpolitik secara Islami berarti mengikuti manhaj dakwah Rasulullah. Dalam dakwahnya, setelah melalui tahapam-tahapan yang panjang, Rasulullah akhirnya menggunakan kekuasaan politik ketika beliau menjadi pemimpin di Madinah, sebagai sarana untuk mengakselerasi efek dakwah. Dalam konteks kekinian, menjadikan sarana demokrasi dalam merealisasikan perjuangan itu merupakan sesuatu yang positif dalam Islam. Pandangan seperti ini ditegaskan banyak ulama seperti Imam Hasan Al-Banna, Syaikh Muhammad Al-Ghazali, Syaikh Mahmud Syaltut, Dr. Yusuf Al-Qardhawi, Dr. Fahwi Huwaidi, dan lain-lain.

Keenam, politik dan kekuasaan adalah sarana jihad untuk menebarkan maslahat bagi seluruh umat manusia. Ketika ajaran jihad menjadi salah satu doktrin sentral yang ditegaskan Allah dalam Al-Qur’an, maka setiap mukmin harus memenuhi panggilan itu dengan segala cara yang bisa ia lakukan, di antaranya melalui jihad politik. Para pemimpin shalih dalam sejarah peradaban Islam telah membuktikan betapa kekuasan yang merupakan amanah yang Allah titipkan kepada mereka harus mereka tunaikan dengan sebaik-baiknya. Prestasi kepemimpinan Rasulullah dan Khulafaur Rasyidin serta khalifah-khalifah sesudah mereka menjadi bukti tak terbantahkan tentang betapa dahsyatnya hasil yang bisa diberikan oleh pemimpin-pemimpin yang beriman. Kisah sukses 2 tahun 5 bulan kepemimpinan Umar Bin Abdul Aziz, di mana pada saat itu bahkan tidak ada warga yang mau menerima zakat padahal petugas zakat khalifah sudah berkeliling-keliling di Afrika Utara, menjadi fakta historis jihad politik seorang pemimpin yang shalih. Hal ini sangat jauh berbeda dengan fakta-fakta kehidupan moderen di mana gap antara si kaya dan si miskin demikian besarnya, bahkan di negara-negara yang disebut sebagai negara kaya dan maju.

Itulah sebabnya, berjuang dan berjihad mendukung dan menyukseskan orang-orang shalih menjadi pemimpin umat bukan hanya hak politik, tapi juga kewajiban politik. Dengan kerangka jihad, maka setiap muslim kemudian betul-betul harus mengerahkan seluruh kemampuan terbaiknya untuk cita-cita perbaikan umat dan bangsa.

Ketujuh, kaum muslim wajib saling tolong-menolong dalam kebaikan dan ketakwaan. Allah SWT sangat tegas memerintahkan orang-orang beriman untuk selalu tolong-menolong dalam kebaikan.(QS. Al-Maidah (5): 2). Memperjuangkan hadirnya wakil-wakil rakyat yang berkualitas adalah program umat yang harus disukseskan bersama-sama. Selanjutnya, untuk menyukseskan perjuangan itu umat harus bersatu dan bahu-membahu dalam barisan yang rapi (QS Ali-Imran (3): 103, Ash-Shaff (61): 4) dan lain-lain).

Kedelapan, umat harus selalu optimis terhadap masa depan yang lebih baik. Seorang muslim yang baik tidak pernah boleh putus asa. Allah sangat tegas menyebut orang-orang yang putus asa sebagai orang yang kafir (QS. Yusuf (12): 87). Walaupun di masa yang lalu umat sering dikecewakan oleh para pemimpin dan wakil rakyat yang tidak bertanggungjawab, harus selalu ada optimisme untuk mendapatkan pemimpin yang lebih baik.

Optimisme itu juga berarti keyakinan bahwa umat ini sesungguhnya masih memiliki sangat banyak orang-orang baik yang layak didukung untuk menjadi pemimpin bangsa. Adalah keliru, bila sebagian orang menganggap bahwa tidak ada lagi orang adil dan amanah di tengah-tengah umat. Tugas kita adalah menemukan orang-orang itu dan mendukung mereka menjadi wakil rakyat, pemimpin umat.

Delapan dasar ini, dan sesungguhnya banyak alasan lain yang bisa kita urai lebih luas, memberikan argumentasi yang sangat jelas betapa bersikap apatis terhadap Pemilu, tidak menggunakan hak suara dalam Pemilu, atau yang populer disebut sebagai “golput” betul-betul adalah sikap yang kontraproduktif terhadap kemaslahatan umat dan karenanya layak dihukum “haram” oleh para ulama.

Fiqh Prioritas
Dengan melihat 8 (delapan) dasar argumentasi di atas, menjadi sangat gamblang bahwa menggunakan sarana politik berupa Pemilu merupakan prioritas yang harus diperjuangkan dengan sungguh-sungguh oleh setiap komponen umat. Pemilu seperti ini hanya diadakan 5 tahun sekali. Sementara itu nasib bangsa dan negara ini 5 tahun yang akan datang ditentukan oleh 5 menit di bilik suara. Karenanya, seluruh potensi umat mestinya dikerahkan untuk meraih kemenangan dakwah di Pemilu 2009, kemenangan untuk seluruh umat, untuk kemaslahatan dan kesejahteraan bangsa.

* Ketua Ikadi Cilegon tahun 2009