Segumam Resah

Hari ini, lagi-lagi langit enggan bersahabat dengan ku. Gemuruh angin membawa butir hujan yang terasa mencekam. Buliran-buliran itu sesekali membentuk titik-titik jarum yang menghantam rumah ku. Aku harus menyakinkan diri bahwa derai hujan ini adalah karunia dari Tuhan. Namun bagi ku, sepertinya hujan membawa berita dari Tuhan bahwa aku dan ’mereka’ telah terlalu larut menyelami dosa-dosa dalam mengarungi hari-hari karunia-Nya dengan drama ketamakan dan keangkuhan.

Entah angin apa yang membawa pesan dalam hidup ku saat ini, sehingga Aku merasa perlu membagi berita ini pada mereka. Dalam relung jiwa, seolah-olah sosok mereka meluruh bersama hujan yang telah diturunkan Allah ke tanah ini. Sosok kita hadir dalam gelimang hari-hari tak bersahabat.

Pernahkah terbayang dalam lintasan benak, bahwa kita pernah bersama-sama mencederai alam pada fajar yang basah? Bahwa kita pernah bersama-sama menguak secuil rahasia Allah pada suatu fajar yang hampir luruh oleh kegemilangan pagi? Ataukah bayang-bayang gedung menjulang yang pongah telah membuang semua ingatan? Aku hanya berhak menebak atas realitas ini, bahwa setidaknya aku masih menyimpan pesona itu dilubuk hati kita terdalam.



Fajar itu, riak alun laut membasahi ujung kaki kita ditepi pantai. Pantai yang pada saat itu masih sanggup mengabarkan eloknya alam laut kita. Pantai yang masih sanggup melukiskan kayanya air negeri ini. Dengan telunjuk, kita tudingkan pandangan ke arah horison yang kemerahan.

Dibalik kaca langit berkabut, kita bercengkerama bersama laut. Mewahanakan sebuah pujian meski langit tak larut. Dalam bayang batas fajar, kita mengekor kepak elang. Kita membawa benih yakin bahwa cakap-cakap kita adalah cakap-cakap dua anak manusia yang mewartakan alam sebagai karunia Allah.

Lihatlah, itulah kekayaan kita. Itulah bekal yang harus kita titipkan pada anak cucu kita. Laut yang biru dengan ikan-ikannya yang cantik. Dengan terumbu karangnya yang molek. Laut ini adalah rahim ibu kita. Yang memendam derita untuk cerita seribu bahagia. Yang mengukir senyum untuk sebuah asa tanpa batas.

Kita alihkan pandangan ke barisan pohon bakau yang berdiri gagah dipinggir pantai bersahaja itu. Negeri ini adalah diwan yang berisi cerita panjang, negeri ini adalah hati dan torehan jiwa, yang menanggung ribuan lekuk luka sejarah bangsa, yang meneteskan tangis darah tanpa marah, yang masih mengulurkan tangan untuk maaf, yang masih setia alirkan cinta arif bijaksana. Negeri ini adalah jiwa ringkih kita.

Fajar makin basah. Tapi kita masih berusaha menjadi sahabat pantai di fajar itu. Kita masih menekuri bentangan pasir putih yang menghampar. Masih tak jemu memandang laut sampai batas cakrawala.

Kita menyayangi laut seperti menyayangi diri kita sendiri. Kitalah orang yang paling bahagia bila masih menyaksikan laut tetap asri, ikannya tetap cantik, pantainya masih membentangkan kemilau pasir yang putih. Kita begitu ceria fajar itu, bersama angin yang menyebarkan hawa garamnya. Sebentar kemudian, keindahan laut mendekati sempurna saat matahari memulai lembaran episodenya untuk hari ini, yang menggantikan menawannya sentuhan rembulan digaris laut yang menghampar.

Aku masih menyimpan memori saat mengajak mereka disebuah lapangan terbuka sambil menatap hijaunya pepohonan dari kejauhan. Pohon-pohon itu berdiri kokoh tegak dengan segala ketenangan dan keindahannya. Siulan dan kicauan burung-burung silih berganti menghiasi pendengaran kita. Kita larut bersama alam, larut bersama karunia Allah.

Pikiran kita disibukkan kegiatan mencandai angin. Alam hening dalam tawadhunya, berzikir atas karunia Rabbi, hanya saja mata ini tak mampu membingkainya. Kita menutup hari itu dengan sebuah kekaguman sekaligus sebuah harapan akan alam. Sama dengan harapan akan masa depan kita yang cerah.

Telah begitu sering kita bergurau dengan alam untuk mengukur betapa besar Tuhan dan betapa kerdil manusia. Sudah terlalu sering kita menghabiskan hari-hari meniti sebuah keinginan yang teramat mulia walaupun bagi orang lain mungkin terlalu naïf.

Aku kembali menulis hari ini tentang laut dan pohon-pohon pada mereka. Ada segunung keluh-kesah yang ingin aku sampaikan pada mereka. Membagi nestapa-nestapa tentang alam kita. Membagi pilu laut dan pohon-pohon yang tidak lagi elok, kepada kita.

Aku ingin menyampaikan tangis pohon cemara. Membaitkan derita terumbu karang. Memfatwakan nestapa tanah perbukitan gundul. Alam kita dulu, kini tak lagi menawan. Beribu-ribu tangan tanpa belas telah menelanjanginya dan memperkosanya tanpa asih. Berebutan tanpa henti seperti jam yang terus berputar. Berjejalan menebar jarring-jaring kerusakan ditubuh dan wajah alam kita. Sampai jasad paling substansi alam kita. Hamparan pohon-pohon hijau hanya tinggal cerita untuk anak cucu. Tinggal dongeng penutup tidur pengganti si Kancil.

Laut telah mereka kebiri dengan bom, pukat harimau, racun sianida, dan entah apalagi yang mampu mereka perbuat. Ikan-ikan yang cantik kini telah kehilangan kampung halaman dan rumah yang anggun tempatnya bersemi menebar benih untuk perbekalan konsumsi anak manusia.

Terumbu karang tak lagi mampu mengukirkan senyum kepada semua biota ciptaan Ilahi. Diberangus oleh tangan teramat jahat makhluk serakah bernama manusia. Cairan tinta cumi-cumi telah tercampur pekatnya limbah industri. Sebentar lagi, tanah ini hanya akan menyisakan lembaran pilu pohon-pohon cemara.

Tanah permai nan berseri telah berganti kubangan. Eksploitasi manusia telah menggerogoti perut ibu pertiwi demi materi semata. Tambang-tambang dibuka untuk menutupi lapar perut anak istri di rumah dan tunggakan kredit barang-barang rumah tangga. Tanah-tanah diperas setetes demi setetes demi keserakahan manusia. Lihatlah, tanah-tanah pun berduka.

Pohon-pohon telah ditebangi dan dicabuti sampai akar-akarnya. Berganti ukiran-ukiran menarik dan material gedung-gedung. Tiap hari, tanpa henti, atas nama ekonomi, manusia menganiaya alam dengan segala keindahannya. Tanpa hiraukan rintihan alam karena telah dikalahkan kayu dan kapak-kapak bermata tajam.

Ikan-ikan cantik dirusak habitatnya. Tanpa berpikir apakah ada yang tersisa. Setiap saat mengeruk perut ibu pertiwi tanpa belas kasihan dan tanpa rencana masa depan. Terumbu karang terkulai menangis karena hilang kemenawanannya. Mati mengenaskan karena ulah tangan manusia.

Orang-orang telah mencipratkan darah hanya karena sengketa yang sepele. Di dusun-dusun, mereka telah mewarnai hidup bukan lagi dengan cinta. Namun, berganti celaan dan senjata. Tak ada lagi jiwa muthmainnah, semuanya berganti benci dan dendam.

Lihatlah, masjid-masjid yang berdiri gagah telah ditinggalkan manusia, kini mereka berlari menuju rumah-rumah border yang berhiaskan miras dan narkoba. Berpesta dalam peluh kerja yang sia-sia. Anak cucu mereka tidak lagi dijejali cita-cita masa depan tetapi dengan isapan lembut asap ganja dan opium. Melarut dalam maksiat.

Jika masih ada satu, dua yang masih setia pada kebenaran, namun akhirnya tereliminasi dan terhanyutkan oleh realita. Tersepikan dan dianggap gila atau utopis. Dipenjarakan rumah-rumah sakit jiwa. Dipasung dalam kungkungan cerita-cerita fitnah dan adu domba.

Mereka dianggap makhluk aneh dan pahlawan kesiangan, orang-orang bermata bening dan berjiwa suci sebentar lagi akan dimasukkan museum dan menjadi barang bukti: jangan sekali-kali membantah realita, walaupun sudah porak poranda dan penuh cerita nestapa. Digiring dalam lorong dakwa dan vonis: orang-orang kontra demokrasi.

Wahai alam marilah kita berduka! Marilah kita berdemonstrasi, seperti mereka berdemonstrasi, atas ulah manusia. Marilah kita ingatkan manusia-manusia lalai dengan bencana. Kirimkan penderitaan pada hati nurani mereka melalui banjir-banjir bandangmu. Tenggelamkan dan hanyutkan keserakahan mereka dengan genangan airmu. Benamkan kepongahan mereka dengan tanah longsormu. Tapi, Aku yakin mereka tak dapat mendekap tanda. Karena mata dan hati mereka telah mereka biarkan untuk mati.

Hai manusia yang masih memegang amanah, marilah kita rapatkan barisan dan perangi mereka dengan cinta dan kasih. Kita yakinkan pada diri bahwa mereka bertindak seperti itu karena khilaf dan alpa. Kita yakinkan pada mereka pintu taubat masih terbuka.

Ya Allah, begitu banyak firman dan tamsil Mu dijejalkan ke hati dan jiwa umat manusia. Begitu banyak ucapan iqro-Mu diperdengarkan pada mereka. Tapi begitu banyak pula mereka yang lupa atau tak mendengar apa-apa. Hati dan jiwa mereka telah kering nilai dan kesadaran beragama.

Selama ini, duka ini hanya kuhaturkan pada-Nya dalam rantai doa-doa. Aku hanya punya Dia sebagai tempat pengaduan kedukaan dan kenestapaan ini. Tangisilah berita pilu ini. Aku yakin tangis negeri ini adalah tangis kita jua. Pilu negeri ini adalah pilu kita jua. Derita dan pilu laut ini adalah derita dan pilu kita jua.

Aku yakin, bahwa negeri ini masihlah rumah cinta kita. Dimana jejak dan napas telah kita bentangkan: untuk satu anugerah teramat besar bernama kehidupan. Aku yakin, negeri ini adalah tanah tua kita, sahabatku. Dimana nama dan pusara akan kita baringkan. Untuk sebuah tanda istirahat guna kembali memulai episode kehidupan yang lebih hakiki.

Berdoalah untuk negeri ini. Walaupun doa itu adalah doa kegetiran dan kepahitan umat manusia teraniaya. Tapi tawadhulah dan bingkailah dengan rasa yakin bahwa doa kita akan sampai ke singgasana-Nya di Arsy.