Sejarah mengenalnya dengan nama Muhammad Ibnu Sirin al Anshary rahimahullah, seorang ulama tabi’in yang mulia. Kualitas iman dan dan ilmunya tidak lagi diragukan. Kemampuannya mentakwil mimpi berdasarkan nash-nash sahih menjadi kelebihannya yang populer, kedalaman ilmunya mengenai takwil mimpi dapat kita nikmati pada kitabnya yeng berjudul Tafsirul Ahlam. Dan hal ini diakui pula oleh ulama-ulama kibar pada zamannya.
Tapi ada pelajaran lain yang kita dapat petik dari ulama kita yang mulia ini, Dr. Aidh Abdullah al Qorni dalam salah satu bukunya, yang telah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dengan judul Pesona Cinta mengutip pernyataan seorang ulama tentang Ibnu Sirin; Muhammad Ibnu Sirin kata Al Qorni, adalah seorang ulama yang senang bercanda, bahkan sering pula bercandanya menyebabkan dirinya dan orang-orang yang mendengar tertawa terbahak. Tapi disisi lainnya Ibnu Sirin adalah seorang yang mudah menangis, sering beliau terisak ketika membaca Alquran dalam munajat-munajat malamnya.
Suatu saat menjelang wafatnya Umar bin Khattab memberikan penilaian pada keenam calon penggantinya, termasuk ‘Ali. Imam az Zuhri meriwayatkan kejadian ini sebagaimana diuraikan oleh Ibnu Abil Hadiid dalam kitab Syarh-nya. Setelah mensifati Zubair ibn al Awwam, Thalhah ibn ‘Ubaidillah, dan Sa’ad bin Abi Waqqash. Maka tibalah saatnya ‘Ali. Umar menghadap ke arah ‘Ali, kemudian berkata, “Dan adapun engkau ‘Ali, Demi Allah seandainya bukan karena unsur kelakar dalam dirimu, niscaya engkau bisa membawa mereka pada tujuan yang terang dan kebenaran yang jelas ketika engkau memimpin mereka, sayangnya, mereka takkan mau kau bawa ke sana. Mereka takkan melakukannya.”
Begitulah, banyaknya bercanda membuat Umar enggan memilih ‘Ali sebagai penggantinya.
“ ’Ali itu, demi Allah adalah jauh pandangannya dan teguh cita-citanya. Beliau selalu membelakangi dunia dan kemewahannya, selalu menyambut kedatangan malam dan kegelapannya. Aku bersaksi,” lanjut dhirar “Bahwa aku telah melihatnya dalam keadaan yang sangat mengharukan. Ketika itu, malam telah menabiri alam dengan kegelapannya. Adapun beliau masih duduk di mihrabnya, menangis terisak seperti ratapan orang yang sedang patah hati. Beliau terus bemunajat pada Allah mengadukan berbagai hal. Dia berkata pula pada dunia, “Hai dunia! Menjauhlah dariku! Mengapa engkau mendatangiku? Tak adakah orang lain untuk kau perdayakan? Adakah kau sangat menginginkanku? Engkau tak mungkin dapat kesempatan mengesankanku! Tipulah orang lain, aku tidak memiliki urusan denganmu! Aku telah menceraikanmu tiga kali. Kehidupanmu singkat, kegunaanmu kecil, kedudukanmu hina, dan bahayamu mudah berlaku.”
Dhirar pun duduk, dia meratap. Mendengar ratapan itu , tangis Muawiyah makin tak tertahan. “Demi Allah”, kata Muawiyah “Memang benarlah apa yang engkau katakan tentang ayah si Hasan itu.”
Posting Komentar