Akatsuki From SEBI: Kampus Mikro Berjuang Membangun Peradaban Makro

Kesederhanaan (yang disyukuri dengan proporsional) adalah puncak kemewahan(Ali Bin Abi Thalib radiyallahu ‘anhu, dalam Nahjhul Balaghah)

Untuk kita, penikmat manga (komik Jepang) khususnya serial Naruto tentu tidak asing dengan nama akatsuki. Akatsuki, sekelompok ninja dari berbagai negara ninja yang memiliki cita menguasai dunia. Mereka ingin lepas dari kungkungan suatu negara, mencoret lambang negara. Dan cukuplah itu semua menjadi sebuah perlambang, sebuah bendera perlawanan kepada negara-negara mapan di dunia ninja. Dan kisah mereka terangkum dengan apik, menjadi sebuah kronik kecil para tokoh antagonis. Kuat, merepotkan, tapi akhirnya berhasil dikalahkan.

Mungkin itulah yang hendak diinginkan sekelompok manusia dalam dunia nyata. Kecil, tapi memiliki isi kepala berbeda dari setiap manusia di sekelilingnya. Sebuah cita besar, mendirikan peradaban baru, imperium baru yang selama ini tak ada dalam bayangan. Serta merobohkan kekuatan mapan yang selama ini dengan pongah menghegemoni dunia.

Bagi sebagian orang mungkin dianggap gila, tapi apakah epik Leonidas dan 300 prajurit Sparta menantang 1.000.000 infanteri Persia adalah sebuah kegilaan? Mereka tidak gila dan hanya orang yang jiwanya dipenuhi materialismelah yang menganggap semua itu gila, nonsens, utopis, dan hanya tontonan dalam film.


Sebuah kepercayaan telah menumbangkan ratusan, ribuan, bahkan jutaan senjata. Toh, itu semua terbukti dalam era ini. Armada Rusia kacau balau dibantai para pengembara gurun Afghanistan. Pasukan Amerika gulung tikar ketika harus bertikai dengan para petani kurus Vietnam dan sekarang mereka mengulanginya kembali dengan rakyat Iraq dan Afghanistan. Dan bahkan Israel negara yang 90% penduduknya tentara harus menerima kekalahan telak di tangan para pejuang Hizbullah di Lebanon. Ingat, mereka hanya melawan sebuah gerakan atau sebuah ormas bukan negara.

Sebuah kepercayaan telah menumbangkan ratusan, ribuan, bahkan jutaan senjata. Karena sebuah kepercayaan melahirkan keberanian. Karena keberanian terletak kepada kepercayaan diri seseorang. Maka karena sebuah kepercayaan, seorang bocah dengan berani menyongsong tank paling mutakhir hanya dengan sebuah batu. Dan kepercayaan dibangun oleh sebuah sistem nilai. Sebuah sistem nilai yang mampu melambungkan sebuah kekuatan. Sebuah sistem nilai yg mampu menerobos celah-celah perbedaan manusia. Sebuah sistem nilai yang mampu menjadi oase bagi kegersangan jiwa. Dan tentu saja sistem yg mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan mendasar manusia. Dari mana? Untuk apa di dunia? Dan akan kemana? Dan sistem itu bernama; Islam.

Akatsuki From SEBI
Jika Islam agama yang sempurna itu diibaratkan sebuah kumpulan sempurna mozaik instrumen sisi-sisi kehidupan, maka kini, disebuah kampus berukuran “mikro” telah disiapkan sekelompok pemuda, dengan semangat yang berkobar, keyakinan yang menghujam kokoh. Dalam hati, mereka berikrar: “Kami akan kontribusikan tiap ilmu yang kita miliki demi membangunkan kembali peradaban Islam yang mulia.” Dan tentu saja, instrumen yang akan mereka perjuangkan adalah pada bidang ekonomi.

Dalam setiap peradaban tidak dapat dipungkiri bahwa sisi ekonomi memiliki peranan yang sangat penting. Karenanya, hal ini perlu mendapatkan perhatian yang khusus. Maka disetiap kelas-kelas “berukuran kecil” kampus SEBI, telah berjejal para pejuang-pejuang ekonomi syariah. Mengkaji dengan –harus- serius tentang perekonomian dan segala derivasinya. Dalam pikiran mereka beranak pinak sebuah idealisme besar, sebuah idealisme yang kelak akan menjadikan pemeluk agama ini (Islam) kembali dimuliakan dan dihormati keberadaannya.

Disana, dikampus kecil itu, kejujuran menjadi modal utama, kesyukuran bagai menjadi penjaga, dan kesulitan menjadi teman karib yang tak bosan memberikan hikmah kehidupan. Ukuran kampus SEBI boleh saja kecil, sederhana, dan terbatas, tapi orang-orang didalamnya sama sekali tidak boleh kecil, pikirannya harus meraksasa, ide-idenya harus terus menggema, akhlaknya harus tetap terjaga (dari kemaksiatan), dan cita-citanya harus tetap erat tergenggam.

Jumlah kita memang kecil, tapi harus tangguh. Setangguh para ‘pemberontak’ dikelompok akatsuki, tapi tentu saja pemberontakan, hanya kita tujukan pada para pengkhianat kebenaran dan Keagungan Islam. Kita harus kokoh, sekokoh sang oposan sejati, Abu Dzar Al Ghifari yang terus berada dalam keterasingan bahkan sampai ajal menyapa. Dan yang terpenting kita harus taat, karena apalah arti tiap usaha perjuangan tanpa sebuah ketaatan.

Maka, Di kampus mikro itu, mereka –seharusnya- tidak lagi merasa malu, dengan kampus raksasa yang ada disampingnya atau kampus raksasa dimanapun. Karena dari kampus itulah, suatu saat nanti sebuah peradaban agung akan kembali dibangunkan setelah tidur panjangnya. Dan semuanya akan menjadi saksi bahwa kampus mikro (SEBI) akan melahirkan sebuah peradaban makro yang agung: Islam

Cilegon, 2 Muharam 1431H